KAJIAN NILAI-NILAI MULTIKULTURALISME: STUDI EMPIRIS PADA MAHASISWA DI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH GOMBONG

KAJIAN NILAI-NILAI MULTIKULTURALISME: STUDI EMPIRIS PADA MAHASISWA DI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH GOMBONG

Tian Khusni Akbar 










Multikulturalisme menjadi isu kritis Di tengah kompleksitas era globalisasi yang ditandai dengan intensifikasi interaksi lintas budaya dalam menjaga kohesi sosial, termasuk di Indonesia sebagai negara dengan keragaman etnis, agama, dan budaya. Perguruan tinggi, sebagai microcosm masyarakat, memikul tanggung jawab strategis untuk menanamkan nilai-nilai multikultural melalui integrasi kurikulum, kebijakan, dan praktik-praktik di lingkungan kampus (Banks 2010). Sebagaimana yang dialami oleh banyak institusi pendidikan lainnya, lingkungan kampus dihadapkan pada tantangan kompleks yang bersumber dari beragamnya pemahaman keagamaan, latar belakang budaya, asal daerah, dan organisasi Islam, seperti halnya pada mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Gombong.

Perbedaan-perbedaan ini kerap memicu gesekan yang berpotensi menghambat efektivitas komunikasi dan kolaborasi antarwarga kampus, bahkan dapat mengganggu keharmonisan dan ketenteraman komunitas akademik. Meningkatnya kecenderungan eksklusivitas turut memperkuat fragmentasi sosial, yang pada akhirnya menciptakan polarisasi dalam kehidupan kampus. Sebagaimna data yang diperoleh bahwa 5 dari 100% mahasiswa baru yang masuk pada T.A 2024/2025 adalah beraga non Islam, dan 30 dari 100% adalah mahasiswa yang berasal dari luar kota, provinsi dan pulau.

Implementasi nilai-nilai multikulturalisme di kalangan mahasiswa menghadapi berbagai tantangan yang kompleks. Salah satu permasalahan utama adalah kurangnya pemahaman dan kesadaran mahasiswa terhadap pentingnya nilai-nilai multikulturalisme, yang dapat menghambat terciptanya harmonisasi sosial di lingkungan kampus. Perbedaan budaya dan kurangnya interaksi antara kelompok mahasiswa merupakan salah penyebab ketegangan dan menghambat integrasi sosial (Bintang and Warsono 2022).

Hal ini merupakan sesuatu yang kompleks mengingat bahwa universitas seharusnya adalah menjadi wadah dalam penguatan nilai sosial dan nilai moderat. Kedua adalah belum maksimalnya nilai-nilai multicultural yang diintegrasikan di system kurikulum Pendidikan. Hal ini selaras denga hasil peneilitian (Hartono, Riyanti, and Feriandi 2024) menunjukan bahwa Salah satu tantangan utama adalah kurangnya pemahaman dan keterampilan pendidik dalam mengintegrasikan nilai-nilai multikultural ke dalam kurikulum dan manajemen kelas, sehingga dapat menghambat pengembangan sikap toleransi dan penghargaan terhadap keragaman di kalangan mahasiswa (Hartono et al. 2024). Sehingga dengan tidak terintegrasinya nilai-nilai tersebut akan menghambat pemahaman mahasiswa dalam memahami dan penguatan nilai-nilai multicultural sebagai idiologi yang harus difahami. (Ali and Noor 2019) mengungkapkan bahwa perbedaan persepsi mengenai batasan multikulturalisme sebagai sebuah ideologi dapat menimbulkan ambiguitas dalam penerapannya, sehingga berpotensi memicu ego-sentrisme dan eksklusivitas di antara kelompok mahasiswa. Permasalahan ketiga adalah lingkungan kampus yang homogen dan banyaknya kultur budaya didalamnya merupakan salah satu permasalahan dalam proses penguatan nilai multicultural. Lingkungan sosial yang homogen di sekitar kampus juga menjadi hambatan dalam menumbuhkan penghargaan terhadap keragaman, karena kurangnya interaksi dengan kelompok yang berbeda dapat memperkuat stereotip dan prasangka. (Hartono et al. 2024).

 Selain itu, tantangan multikulturalisme terhadap solidaritas kewarganegaraan dalam masyarakat majemuk juga menjadi perhatian, di mana kurangnya toleransi terhadap perbedaan dapat menghambat terciptanya koeksistensi yang inklusif.  Selain itu, faktor internal seperti kurangnya kesiapan dan kesadaran peserta didik, serta faktor eksternal seperti minimnya ruang untuk refleksi dan interaksi antarbudaya, turut menjadi hambatan dalam penerapan nilai-nilai multikulturalisme (Mazid and Suharno 2019). ditambah dengan tantangan zaman dan teknologi menjadi factor paling sulit dalam implementasinya. pengaruh teknologi dan globalisasi yang dapat menggeser perhatian mahasiswa dari nilai-nilai lokal dan nasional menuju budaya global yang belum tentu sejalan dengan nilai-nilai multikulturalisme (Azahra et al. 2025). Oleh karena itu, diperlukan upaya strategis untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut guna menciptakan lingkungan kampus yang inklusif dan harmonis.

Tulisan ini secara spesifik bertujuan untuk mengkaji secara mendalam tentang strategi dalam penanaman nilai-nilai multicultural pada mahasiswa. Oleh karena itu, urgensi dalam naskah ini terletak pada sejauh mana integrasi nilai-nilai multicultural dapat dirasakan oleh mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Gombong sehingga dapat menjadi rekomendasi bagi institusi untuk terus memberikan pelayanan yang lebih baik dan dapat digunakan sebagai memitigasi potensi konflik yang timbul akibat perbedaan tersebut. Sebagaimana yang diutarakn oleh (Syahrul 2020) Rekomendasi yang tepat dapat membantu universitas dalam menciptakan lingkungan belajar yang lebih inklusif dan menghargai keberagaman.

Telaah Teoretis Multikulturalisme

Pemahaman serta kesadaran tentang pentingnya multikulturalisme sebenarnya telah tertanam sejak masa perumusan awal kebudayaan nasional oleh para pendiri bangsa. Mereka menyadari bahwa Indonesia merupakan negara yang dibentuk di atas dasar kemajemukan budaya, bahasa, agama, dan etnis. Namun, dalam perkembangan mutakhir, pemahaman masyarakat mengenai konsep multikulturalisme mulai mengalami pergeseran dari ruh dan esensi dasar yang telah dirumuskan sejak awal.

Sebagaimana dijelaskan oleh (Asmuri 2017), keberagaman budaya di Indonesia merupakan realitas sosiologis yang menunjukkan kekayaan identitas kolektif bangsa. Keberagaman ini terlihat dari adanya lebih dari 300 suku bangsa, sekitar 200 bahasa daerah, dan ribuan bentuk ekspresi budaya yang tumbuh dan berkembang secara bersamaan dalam satu ruang sosial. Situasi tersebut menuntut terbangunnya interaksi sosial yang dilandasi oleh nilai-nilai toleransi, yang menjadi landasan utama untuk menciptakan hubungan sosial yang harmonis, inklusif, dan berkelanjutan. Selaras dengan perspektif tersebut, (Rahmat 2019) konsep multikulturalisme seharusnya berlandaskan pada kenyataan keberagaman budaya, bahasa, etnis, dan agama yang hidup dalam masyarakat. Oleh karena itu, guna menciptakan harmoni sosial yang sejati, perlu dilakukan internalisasi nilai-nilai toleransi secara mendalam serta upaya dekonstruksi terhadap pandangan primordial yang dapat mengancam kohesi dan integrasi sosial.

Secara etimologis, istilah multikulturalisme berasal dari gabungan dua kata, yaitu multi yang berarti banyak, dan kultural yang merupakan serapan dari kata culture dalam bahasa Inggris, yang berarti budaya. Dengan demikian, multikulturalisme secara umum dipahami sebagai suatu pandangan hidup yang mengakui keberadaan berbagai budaya dalam satu ruang sosial yang sama, serta mendorong terciptanya hubungan yang saling menguntungkan dan bersifat simbiotik antarbudaya (Chairul 2006). Selanjutnya, (Suryadinata 2002) Multikulturalisme diposisikan bukan hanya sebagai sebuah doktrin politik yang bersifat pragmatis, melainkan sebagai sebuah paradigma kehidupan yang mengedepankan nilai-nilai penghormatan, pengakuan, dan perlindungan terhadap keragaman budaya dalam masyarakat. Dengan demikian, multikulturalisme menuntut terbentuknya kesadaran kolektif untuk membangun kehidupan yang harmonis dalam bingkai pluralitas sosial.

Secara terminologis, multikulturalisme merujuk pada suatu kondisi keberagaman budaya yang terdapat dalam struktur masyarakat yang kompleks (Bukhori 2019). Istilah ini umumnya digunakan untuk mendeskripsikan konfigurasi sosial yang terdiri atas berbagai kelompok masyarakat dengan latar belakang agama, etnisitas, bahasa, dan tradisi budaya yang berbeda. Dalam wacana akademik, konsep multikulturalisme kerap dibahas dalam relasi dialektis dengan istilah seperti pluralitas dan keragaman, yang masing-masing membawa konotasi konseptual yang berbeda. (Chairul 2006) menambahkan bahwa Pluralitas merujuk pada keberadaan lebih dari satu entitas atau elemen dalam suatu tatanan sosial, sedangkan keragaman menyoroti adanya perbedaan esensial antar elemen tersebut. Adapun multikulturalisme tidak sekadar mengindikasikan perbedaan, tetapi mencerminkan suatu bentuk pengakuan aktif terhadap eksistensi dan hak-hak kelompok yang berbeda untuk hidup damai dalam sistem sosial yang inklusif dan setara. Dengan demikian, multikulturalisme berfungsi sebagai kerangka normatif yang menekankan pentingnya penghormatan, penerimaan, dan perlindungan terhadap hak-hak budaya kelompok dalam masyarakat yang pluralistik.

Secara substantif, multikulturalisme dipahami sebagai suatu keyakinan normatif yang menyatakan bahwa kelompok-kelompok etnis dan budaya dapat hidup berdampingan secara damai melalui prinsip co-existence. Prinsip ini menuntut adanya sikap saling menghargai dan menghormati terhadap identitas serta ekspresi budaya masing-masing kelompok  (Mulyadi 2017). Dalam konteks kebijakan publik, pendekatan ini sejalan dengan pandangan bahwa multikulturalisme merupakan ideologi strategis yang berfungsi sebagai solusi atas melemahnya kohesi sosial dan semangat nasionalisme, terutama sebagai dampak dari arus globalisasi yang secara signifikan mengikis identitas lokal dan nasional (Agustianty 2021). Dikuatkan oleh (Azra 2007) menegaskan bahwa multikulturalisme pada dasarnya merupakan pandangan dunia (worldview) yang menekankan pada penerimaan terhadap realitas keberagaman, termasuk pluralitas agama dan budaya, yang secara praktis diwujudkan dalam bentuk kebijakan kebudayaan yang inklusif. Dalam perspektif ini, multikulturalisme tidak hanya mencerminkan realitas sosial yang plural, tetapi juga menjadi kerangka kerja normatif dalam merancang tata kelola masyarakat yang demokratis, adil, dan berkeadaban. Lebih jauh lagi, (Hernandez 2001) menekankan bahwa tujuan utama dari multikulturalisme adalah untuk membangun kerjasama lintas kelompok, relasi yang setara, serta membentuk budaya apresiatif dalam masyarakat yang semakin kompleks dan tidak lagi bersifat monokultur. Oleh karena itu, multikulturalisme tidak hanya bersifat pasif-toleran, tetapi juga menuntut pendekatan yang aktif dan progresif dalam membangun struktur sosial yang adil, setara, dan saling memperkaya.

Keterbukaan, penerimaan aktif, dan pengakuan setara terhadap kelompok sosial sebagai bagian penting dari masyarakat adalah dasar multikulturalisme, berdasarkan berbagai teori. Multikulturalisme berbeda dengan gagasan pluralitas yang hanya menganggap ada perbedaan. Oleh karena itu, internalisasi nilai-nilai multikultural melalui metode pendidikan dapat sangat membantu dalam pembentukan masyarakat yang inklusif, adil, dan demokratis. Membangun tatanan sosial yang berkeadaban bergantung pada prinsip-prinsip seperti toleransi, penghargaan terhadap keragaman, dan penguatan identitas kolektif yang harmonis. Ini terutama berlaku di perguruan tinggi negeri dengan kemajemukannya.

Nilai-nilai Multikultural

Menurut Tilaar (Tilaar 2014) pendidikan multikultural mencerminkan empat nilai inti fundamental, yakni: (1) penghormatan terhadap keberagaman budaya sebagai realitas dalam kehidupan manusia; (2) pengakuan terhadap harkat, martabat, dan hak asasi yang melekat pada setiap individu; (3) pembentukan sikap tanggung jawab baik secara personal maupun kolektif dalam konteks komunitas global; dan (4) penanaman tanggung jawab universal manusia terhadap kelestarian lingkungan alam. Keempat nilai tersebut tidak hanya berperan sebagai prinsip etis dalam dinamika sosial, tetapi juga menjadi landasan filosofis yang esensial dalam membangun tata kelola keberagaman yang berkelanjutan. Secara operasional, nilai-nilai ini dapat ditransformasikan ke dalam tiga prinsip utama, yaitu: demokrasi, toleransi, dan kerukunan sosial.

    A. Nilai Demokratis 

Demokrasi merupakan landasan utama dalam struktur sosial-politik yang menekankan nilai-nilai kesetaraan, kebebasan, serta keterlibatan aktif seluruh elemen masyarakat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), demokrasi diartikan sebagai pandangan hidup yang mengedepankan persamaan hak dan kewajiban serta memberikan perlakuan setara kepada setiap warga negara tanpa diskriminasi. Secara etimologis, istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos atau cratein yang berarti kekuasaan atau pemerintahan.

Dalam pengertian terminologis, para ahli menawarkan definisi yang memperluas makna demokrasi dalam dimensi politik dan sosial. Joseph A. Schumpeter, sebagaimana dikutip oleh (Isdianto 2016), Demokrasi dipandang sebagai suatu mekanisme institusional dalam pengambilan keputusan politik, di mana kekuasaan diperoleh individu melalui proses kompetitif dalam memperoleh dukungan suara dari rakyat.

Lebih jauh, demokrasi tidak hanya sebatas sistem pemerintahan, tetapi juga mengandung nilai-nilai dasar yang menopang kehidupan sosial dan pendidikan. Menurut (Hendri B Mayo 2012), Lima nilai fundamental dalam sistem demokrasi meliputi: (1) penyelesaian konflik melalui cara-cara damai dan melalui institusi yang sah, (2) jaminan terhadap terwujudnya perubahan sosial secara non-kekerasan, (3) pelaksanaan pergantian kekuasaan secara sistematis dan teratur, (4) pengakuan atas pluralitas dalam kehidupan sosial, serta (5) penegakan prinsip keadilan sebagai landasan bersama. Nilai-nilai ini mencerminkan bahwa demokrasi tidak hanya bersifat prosedural, tetapi juga mengandung dimensi etik yang membentuk kerangka normatif dalam tatanan kehidupan masyarakat. 

       B. Nilai Teoleran 

Secara etimologis, istilah toleransi berasal dari kata Latin tolerantia, yang mengandung makna kesabaran, kelembutan, kelapangan, dan keringanan dalam menyikapi perbedaan (Casram 2016). Dalam perkembangan terminologi modern, toleransi dipahami sebagai sikap yang mengakui, menerima, dan menghormati perbedaan yang melekat pada individu maupun kelompok, baik dalam aspek pandangan, agama atau kepercayaan, latar belakang ekonomi, sosial, maupun politik (Wahab 2015). Konsep ini ditekankan oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) yang mendefinisikan toleransi sebagai sikap saling menghormati dan menghargai dalam keragaman budaya, kebebasan berekspresi, dan sifat dasar kemanusiaan (Ginting and Aryaningrum 2009). Lebih lanjut, Heiler secara sederhana mendefinisikan toleransi sebagai penghormatan terhadap pluralitas atau kemajemukan dalam masyarakat (Syukur and Agus Hermanto 2021).

Toleransi tidak hanya bersifat pasif dalam membiarkan perbedaan, tetapi merupakan nilai aktif yang mengedepankan penghargaan terhadap keberagaman, saling pengertian, dan kehidupan harmonis. Nilai-nilai fundamental yang melekat dalam toleransi meliputi: (1) Penghargaan terhadap perbedaan, yaitu pengakuan bahwa keberagaman adalah kekayaan sosial yang bernilai edukatif dan memperluas wawasan kebudayaan (Baidhawy 2005); (2) Kesetaraan, yakni pengakuan terhadap hak setiap individu untuk diperlakukan secara adil tanpa diskriminasi atas dasar ras, agama, jenis kelamin, orientasi seksual, atau identitas lainnya; (3) Penghormatan dan kesopanan, yang diwujudkan melalui komunikasi yang sopan, empatik, dan menghargai martabat manusia (Kuse 2023); serta (4) Dialog dan komunikasi terbuka, yang mencakup keterampilan mendengarkan aktif, menyampaikan pandangan secara konstruktif, dan membangun pemahaman bersama dalam konteks perbedaan (Zaprulkhan 2018).

Dalam masyarakat majemuk, implementasi nilai-nilai toleransi menjadi fondasi utama bagi terciptanya hubungan sosial yang harmonis dan berimbang. Toleransi mendorong terbentuknya kohesi sosial yang kuat dan mampu meredam konflik antar kelompok. Menurut Wosino, interaksi antar pemeluk agama dalam suatu wilayah memunculkan pola komunikasi sosial yang menekankan kesamaan sebagai warga negara, bukan perbedaan keyakinan. 

C.         C. Nilai Kerukunan

Istilah kerukunan berasal dari kata dasar rukun, yang dalam bahasa Arab disebut ruknun (jamak: arkan), yang secara etimologis berarti dasar, asas, atau fondasi. Dalam perkembangan semantik bahasa Indonesia, kata rukun mengalami perluasan makna menjadi suatu kondisi hubungan sosial yang harmonis, selaras, dan tidak bertentangan, baik dalam interaksi antarpersonal maupun antarkelompok dalam kehidupan masyarakat.

Secara konseptual, kerukunan dapat dipahami sebagai konstruksi sosial yang mencerminkan keadaan harmonis dan koeksistensi damai dalam masyarakat yang majemuk. (Nugroho and Ni’mah 2018) menjelaskan bahwa Kerukunan dalam konteks kebangsaan Indonesia merujuk pada suatu kondisi sosial yang mencerminkan kehidupan bersama yang harmonis, tertata, aman, dan saling menghormati. Pendekatan ini tidak hanya bersifat struktural, seperti pembentukan forum musyawarah antar umat beragama dan pelaksanaan dialog lintas iman, tetapi juga kultural dan edukatif. (Oktavia 2019) menekankan pentingnya penguatan sikap toleransi, pemahaman mendalam terhadap ajaran agama sendiri, serta keterbukaan dalam memahami keyakinan agama lain sebagai strategi substantif dalam membentuk kesadaran keberagaman yang konstruktif. Ini menunjukkan bahwa kerukunan tidak lahir secara otomatis, melainkan merupakan hasil dari rekayasa sosial yang terencana.

Kerukunan juga harus diposisikan sebagai idealitas nasional yang mendasari keberlanjutan kehidupan berbangsa dan bernegara. (Naim 2016) menyatakan bahwa ketiadaan kerukunan berpotensi menimbulkan konflik sosial, kekerasan, serta disintegrasi bangsa. Ketika relasi sosial diliputi kecurigaan dan ketegangan, maka kohesi sosial yang menjadi fondasi keutuhan bangsa akan rapuh. Dalam konteks ini, pendekatan multikultural yang mengarusutamakan nilai-nilai kerukunan menjadi prasyarat utama bagi terwujudnya masyarakat yang inklusif dan berkeadaban (Bahtiar 2020).

Dari sudut pandang teori fungsionalisme struktural, kerukunan dipahami sebagai mekanisme sosial yang menjaga stabilitas sistem. Setiap individu dan institusi diharapkan menjalankan fungsinya untuk menciptakan harmoni sosial. Ketika nilai kerukunan melemah, maka sistem sosial akan terganggu dan mengalami disfungsi yang bisa berujung pada konflik terbuka. Dengan demikian, kerukunan dapat menjadi fondasi utama dalam membentuk masyarakat Indonesia yang inklusif, adil, dan beradab.

Strategi Institusi dalam Membangun Budaya Multikultural

Peran Universitas dalam penanaman nilai-nilai multicultural terbagi dalam 3 bagian, meliputi Peran Organisasi Mahasiswa dan UKM dalam Internalisasi Nilai-Nilai Multikultural, Peran Kurikulum sebagai Wadah Pembentukan Karakter Multikultural. Adapun literatur tentang tiga poin tersebut dapat dilihat berikut ini:

Peran organisasi mahasiswa dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) dalam proses internalisasi nilai-nilai multikultural pada mahasiswa Universitas Muhammadiyah Gombong menunjukkan dinamika yang kompleks namun transformatif. Organisasi kemahasiswaan menjadi ruang strategis bagi interaksi lintas budaya, agama, dan latar belakang sosial, yang secara tidak langsung menstimulasi praktik-praktik toleransi, kerja sama, serta empati lintas identitas.

Kegiatan ini tidak hanya meningkatkan kapasitas dialog antarbudaya, tetapi juga memperkuat empati antar kelompok. Sedangkan dalam Ekspedisi Sosial Multikultur, mahasiswa dari berbagai UKM bekerja sama dalam proyek pengabdian masyarakat, seperti edukasi lingkungan dan kesehatan, penanaman bibit magrove yang mengajarkan pentingnya solidaritas di tengah keragaman. Keempat tiga kegiatan ini menunjukkan bahwa internalisasi nilai multikultural tidak bersifat teoritis semata, melainkan bersifat praksis dan dialektis.

Temuan ini merefleksikan teori yang dikemukakan oleh (Banks and Banks 2010) bahwa pendidikan multikultural harus berbasis pengalaman partisipatif yang memungkinkan mahasiswa berperan aktif dalam situasi sosial nyata yang beragam. Selain itu, studi oleh (Gollnick and Chinn 1991) menegaskan bahwa organisasi kemahasiswaan memiliki peran penting dalam membentuk identitas sosial mahasiswa dan mengembangkan kesadaran multikultural secara kolektif. Analisis hasil wawancara menunjukkan bahwa partisipasi aktif dalam UKM berkontribusi terhadap transformasi sikap mahasiswa dari eksklusif menuju inklusif. Hal ini sejalan dengan temuan penelitian (Zhang, English, Bing, and Tong 2021), yang membuktikan bahwa interaksi dalam kelompok sosial lintas budaya di lingkungan kampus meningkatkan kompetensi interkultural mahasiswa secara signifikan Dengan demikian, organisasi mahasiswa dan UKM bukan hanya menjadi medium pengembangan minat dan bakat, tetapi juga wahana strategis dalam pembentukan karakter multikultural yang relevan dengan konteks masyarakat Indonesia yang pluralistik.

Kolaborasi antara dosen dan mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Gombong terbukti menjadi salah satu elemen strategis dalam memperkuat internalisasi nilai-nilai multikultural di lingkungan kampus. Kolaborasi tersebut tercermin dalam tiga kegiatan utama: Pelatihan Moderasi Beragama, Lokakarya Budaya dan Agama, serta Program Pengabdian Multikultural. Dalam Pelatihan Moderasi Beragama, dosen AIK dan mahasiswa dari UKM Dakwah serta UKM Seni secara bersama-sama merancang modul pelatihan yang menekankan pentingnya keberagaman sebagai rahmat dan peluang kerja sama. Kegiatan ini dilaksanakan dengan metode simulasi dan studi kasus yang mendorong peserta untuk merefleksikan sikap keberagaman dalam kehidupan sosial.

Praktik ini terlihat nyata dalam kegiatan Proyek Kolaboratif Interdisipliner, Forum Diskusi Inklusif, dan Pekan Inovasi dan Budaya Mahasiswa. Mahasiswa dari Program Studi Teknik Industri, Hukum, dan Manajemen menjelaskan bahwa dalam Proyek Kolaboratif Interdisipliner, mereka bekerja dalam tim heterogen untuk menyelesaikan kasus berbasis masyarakat yang menuntut pendekatan teknis, hukum, dan manajerial secara bersamaan.

Sementara itu, dalam Pekan bahasa dan Budaya Mahasiswa, mahasiswa dari berbagai latar belakang budaya menampilkan karya inovatif berbasis kearifan lokal dan global, yang menjadi wahana pertukaran nilai dan apresiasi lintas budaya dalam Bahasa inggris. Analisis terhadap praktik-praktik ini menunjukkan bahwa mahasiswa tidak hanya mengalami multikulturalisme secara pasif, tetapi juga menginternalisasikannya secara aktif melalui pengalaman sosial dan akademik.

Temuan ini sejalan dengan studi oleh (Montgomery 2020) dalam Higher Education, yang menegaskan bahwa kemitraan antara staf akademik dan mahasiswa dalam konteks lintas budaya merupakan motor penting dalam mengembangkan kompetensi global dan memperkuat kohesi sosial di institusi pendidikan tinggi multicultural. Dengan demikian, pembentukan lingkungan kampus yang multikultural bukan hanya bergantung pada kebijakan institusional, tetapi juga pada keberdayaan mahasiswa dalam mempraktikkan keberagaman secara reflektif dan strategis.

Kurikulum memiliki peran strategis sebagai instrumen pembentukan karakter multikultural mahasiswa di lingkungan pendidikan tinggi. Di Universitas Muhammadiyah Gombong, integrasi nilai-nilai multikultural ke dalam kurikulum tidak hanya dilakukan melalui penguatan konten pembelajaran, tetapi juga dalam pendekatan pedagogis dan kegiatan berbasis proyek.  Strategi internalisasi nilai-nilai multikultural dalam kurikulum dilakukan melalui pendekatan tematik yang terintegrasi dalam mata kuliah, seperti Etika Keperawatan dan Komunikasi Terapeutik, dengan mengedepankan metode pembelajaran berbasis interaksi sosial lintas budaya. Selain itu, kurikulum juga dirancang untuk mengakomodasi integrasi nilai-nilai Al Islam dan Kemuhammadiyahan secara kontekstual, sesuai dengan keragaman latar belakang budaya dan agama mahasiswa. Pendekatan ini menunjukkan adanya kesadaran institusional dalam membentuk karakter mahasiswa yang inklusif, responsif secara budaya, dan religius progresif dalam kerangka keilmuan yang multikultural.

Adapun bentuk implementasinya meliputi tiga bentuk penerapan kurikulum multikultural yang mereka alami secara langsung: (1) Simulasi Lintas Budaya dalam Komunikasi Pasien, di mana mahasiswa diminta berinteraksi dalam skenario dengan pasien dari latar budaya berbeda; (2) Proyek Lapangan Berbasis Budaya Lokal, yang mendorong mahasiswa memahami praktik kesehatan dalam konteks budaya masyarakat desa mitra; dan (3) Refleksi Multikultural dalam Tugas Portofolio, yang meminta mahasiswa merefleksikan perbedaan nilai dan kebiasaan dalam interaksi klinik. K urikulum berbasis keberagaman budaya dan pembelajaran kolaboratif lintas kelompok terbukti memperkuat kohesi sosial dan keterampilan antarbudaya mahasiswa di pendidikan tinggi multicultural.

Pada hakikatnya, multikulturalisme merupakan sebuah pandangan normatif yang menekankan pentingnya kehidupan bersama secara harmonis antar kelompok etnis dan budaya melalui prinsip koeksistensi. Dalam konteks ini, multikulturalisme tidak hanya menggambarkan kondisi sosial yang majemuk, tetapi juga menjadi landasan normatif dalam membangun tata masyarakat yang demokratis, adil, dan beradab. 

Agustianty, Efit Fitria. 2021. “Multikulturalisme Di Indonesia.”

 Ali, Nuraliah, and Syamhudian Noor. 2019. “Pendidikan Islam Multikultur: Relevansi, Tantangan, Dan Peluang.” Jurnal Hadratul Madaniyah 6(1):24–42.

Asmuri, Asmuri. 2017. “Pendidikan Multikultural (Telaah Terhadap Sistem Pendidikan Nasional Dan Pendidikan Agama Islam).” POTENSIA: Jurnal Kependidikan Islam 2(1):25–44.

Azahra, Muthia, Ayifa Nabila Harahap, Longga Lamnasari Harahap, and Shiva Sri Wahyuningsih. 2025. “Tantangan Penerapan Nilai Pancasila Di Kalangan Generasi Milenial Merupakan Pengaruh Teknologi Dan Globalisasi Dalam Kehidupan Sosial Dan Politik Indonesia.” Jurnal Pendidikan Sosial Dan Konseling 2(4):1294–98.

Azra, Azyumardi. 2007. “Identitas Dan Krisis Budaya, Membangun Multikulturalisme Indonesia.” Jakarta: Pustaka Indonesia.

Bahtiar, Muhammad Afri. 2020. “Penanaman Nilai-Nilai Multikulturalisme Melalui Lembaga Pendidikan Madrasah Diniyyah.” Jurnal Kependidikan 8(1):42–58.

Baidhawy, Zakiyuddin. 2005. Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural. Erlangga.

Banks, James A., and Cherry A. McGee Banks. 2010. Multicultural Education: Issues and Perspectives. John Wiley & Sons.

Bintang, Vio, and Warsono Warsono. 2022. “Praktik Multikulturalisme Antara Masyarakat Surabaya Dan Mahasiswa Papua Dalam Mewujudkan Harmonisasi Sosial.” Kajian Moral Dan Kewarganegaraan 10(2):304–18.

Bukhori, Imam. 2019. “Membumikan Multikulturalisme.” HUMANISTIKA: Jurnal Keislaman 5(1):13–40.

Casram, Casram. 2016. “Membangun Sikap Toleransi Beragama Dalam Masyarakat Plural.” Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama Dan Sosial Budaya 1(2):187–98.

Chairul, Mahfud. 2006. “Pendidikan Multikultural.” Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Ginting, Rosalina, and Kiki Aryaningrum. 2009. “Toleransi Dalam Masyarakat Plural.” Majalah Lontar 23(4).

Gollnick, Donna M., and Philip C. Chinn. 1991. Multicultural Education for Exceptional Children. ERIC Clearinghouse on Handicapped and Gifted Children Reston, VA.

Hartono, Kevin Aldoni, Dwi Riyanti, and Yoga Ardian Feriandi. 2024. “Tantangan Dan Hambatan Pendidikan Multikultural Di Sekolah Dasar Negeri.” Jurnal Harmoni Nusa Bangsa 1(2):243–51.

Hendri B Mayo. 2012. Nilai Demokrasi,. Bandung: PT. Bumi Aksara.

Hernandez, Hilda. 2001. Multicultural Education: A Teacher’s Guide to Linking Context Process, and Content. Prentice Hall.

Isdianto, Ilhan Yulis. 2016. “Prinsip Umum Demokrasi & Pemilu.” Sleman, Indie Book Corner.

Kuse, Meli’. 2023. “Pengaruh Nilai Tingkeban Terhadap Toleransi Antar Umat Beragama Di Desa Sukamaju, Luwu Utara.”

Mazid, Sukron, and Suharno Suharno. 2019. “Implementasi Nilai-Nilai Multikultural Dalam Pembelajaran PKn.” Harmoni Sosial: Jurnal Pendidikan IPS 6(1):72–85.

Montgomery, Diane. 2020. Teaching for Learning Gain in Higher Education: Developing Self-Regulated Learners. Routledge.

Mulyadi, Mohammad. 2017. “Membangun NKRI Dengan Multikulturalisme.” Info Singkat Kesejahteraan Sosial 9(10):9–12.

Naim, Ngainun. 2016. “Membangun Kerukunan Masyarakat Multikultural.” Harmoni 15(1):203–13.

Nugroho, Muhammad Aji, and Khoiriyatun Ni’mah. 2018. “Konsep Pendidikan Islam Berwawasan Kerukunan Pada Masyarakat Multikultural.” Millah: Journal of Religious Studies 337–78.

Oktavia, Veronica Fransilya. 2019. “Peran Komunitas Basis Dalam Keagamaan Di Indonesia Demi Terwujudnya Toleransi.”

Rahmat, M. Pd I. 2019. Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berwawasan Multikultural. Vol. 1. PT RajaGrafindo Persada.

Suryadinata, Leo. 2002. “Indonesia State Policy toward Ethnic Chinese: From Asimilation to Multiculturalism? Disampaikan Dalam Simposium Internasional III.” Jurnal Antropologi Indonesia. Universitas Udayana, Bali.

Syahrul, Syahrul. 2020. “Menanamkan Kemuhammadiyaan Pada Mahasiswa Non-Muslim Melalui Pendidikan Multikultural Di Universitas Muhammadiyah Kupang.” Edukasi 18(2):171–85.

Syukur, Abdul, and M. H. I. Agus Hermanto. 2021. Konten Dakwah Era Digital (Dakwah Moderat). Literasi Nusantara.

Tilaar, H. A. R. 2014. “Multikulturalisme, Bahasa Indonesia, Dan Nasionalisme Dalam Sistem Pendidikan Nasional.” Dialektika: Jurnal Bahasa, Sastra, Dan Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia 1(2):213–24.

Wahab, Abdul Jamil. 2015. Harmoni Di Negeri Seribu Agama. Elex Media Komputindo.

Zaprulkhan, Zaprulkhan. 2018. “Dialog Dan Kerjasama Antar Umat Beragama Dalam Perspektif Nurcholish Madjid.” Mawaizh 9(2):154–77.

Zhang, English, Alexander Scott, Yan Bing, and Rongtian Tong. 2021. “Social Support and Cultural Distance: Sojourners’ Experience in China.” International Journal of Intercultural Relations 80:349–58. doi: 10.1016/j.ijintrel.2020.10.006.

A

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.