SEHARI BERSAMA AYAH 

Penulis  : Muslim Fikri, S.E., M.Si
Editor     : Erlin Kurnia Sri Rejeki, M.Pd.I
Siang itu, saat panasnya matahari mulai terasa, pertanda bahwa sesi pagi akan segera usai, nampak seorang lelaki yang mendekati usia senja tengah bersiap melangkah untuk mengayuh sepedanya. Terlihat lelaki tersebut mengajak serta anaknya yang berusia sekitar 10 tahun. 

 “Ayah, kenapa setiap hari jumat kita selalu berangkat ke masjid lebih awal ? padahal sholatnya kan masih lama” tiba-tiba narasi itu muncul dari sang anak. 

“Jalan dulu saja nak, nanti kamu akan paham kenapa kita harus berangkat lebih awal”. Jawab Ayahnya sederhana. 

Begitulah seorang Ayah, kadang tak banyak kalimat terucap. Mungkin karena waktunya pendek sehingga harus bergegas dengan hal lain, atau memang mayoritas Ayah di desa tak pandai merangkai kata.

Terkadang, diamnya seorang Ayah adalah sebuah pertanda atau bisa jadi peringatan, tentang batasan mana yang baik dan mana yang kurang baik. Hal-hal semacam itu bisa menjadi alarm bagi seorang anak dalam menjalani hidupnya dengan lebih hati-hati. Berbicara secukupnya, bertindak seperlunya.

Ayah adalah profesi terbaik bagi seorang lelaki yang telah mendapatkan karunia berupa hadirnya keturunan. Meskipun tak semua lelaki beruntung mendapatkan gelar sebagai seorang Ayah; entah karena belum menikah atau sudah menikah namun belum mendapatkan keturunan, namun seorang lelaki tetap bisa merasakan keistimewaan seorang Ayah dari figur Ayahnya.  

Kadang Ayah berangkat selepas Subuh, karena khawatir jika tidak segera beraktifitas maka semangatnya bisa dikalahkan oleh rasa kantuknya. Kadang baru pulang menjelang senja dengan membawa lelah dan disambut dengan sejuta pertanyaan: “Apa yang dilakukan Ayah seharian ? Kenapa baru pulang ? Tadi Ayah ke mana saja ?”

Meskipun seorang Ayah seringkali tak memberi kabar sehingga anak tidak paham dengan apa yang Ayah rasakan di luar sana, namun percayalah, seorang Ayah hanya ingin agar beban berat ia saja yang menanggungnya. Kalau perlu, ia telan sendiri sampai akhir nanti.

Rutinitas harian seorang Ayah yang relatif melelahkan, kadang cukup disikapi dengan singgah ke surau di pojok desa sekedar mengambil air wudhu untuk menyejukan diri dari panasnya siang hari, atau bersujud sebagai bentuk ikhtiar kepada Allah. Memastikan kembali bahwa sekuat apapun ia, kemampuannya hanyalah berusaha sedangkan hasilnya biarlah Allah yang menentukan. Seperti halnya Ibunda Hajar bersama Ismail yang ber-Ikhtiar untuk melaksanakan sa’i dengan durasi 7 kali, akhirnya Allah anugerahkan rejeki dari arah yang tidak disangka-sangka berupa hadirnya air zam-zam, yang kebaikannya bertahan sampai hari ini, bahkan sampai akhir nanti.

Ketika seorang Ayah menghadiri sholat Jumat dengan membawa serta anak laki-lakinya, maka ia sedang mengajarkan kepada anaknya bahwa sholat Jumat adalah kewajiban bagi setiap muslim laki-laki.
Ketika seorang ayah membiarkan anaknya berdiri diatas sepeda sambil memegang pundaknya, maka ia sedang mengajarkan kepada anak laki-lakinya untuk berani menjaga keseimbangan meskipun di atas sepeda yang sedang berjalan.
Ketika seorang Ayah membunyikan bel sepedanya saat berpapasan atau mendahului orang lain, maka ia sedang mengajarkan pada anaknya bahwa kita hidup tak sendirian, maka ketika engkau berpapasan dengan seseorang siapapun dia, dan dimanapun tempatnya, utamakan adab dengan menyapa atau membunyikan klakson kendaraan.

Tak lama kemudian, sampailah sang Ayah dan anak lelakinya di Masjid.
Sebelum memasuki masjid, lelaki tersebut terlebih dahulu mengajak anaknya untuk mengambil air wudhu.

Saat berjalan memasuki masjid dan mencari shaf yang masih kosong, anak itupun bertanya,

“Ayah kenapa kita harus Sholat ?”.

Sang Ayah pun tersenyum sembari memegang kepala anaknya pelan,

“ini kewajiban nak.., seperti halnya ketika kamu sekolah, maka setiap hari kamu wajib hadir di dalam kelas. Jika kamu bolos dan tidak masuk, maka risikonya kamu akan mendapatkan nilai jelek, atau bahkan malah tidak naik kelas”. 

Belum puas dengan jawaban sang Ayah, anak itupun kembali bertanya,

“Tapi ada temanku yang selama sepekan tidak masuk sekolah karena sakit, kok tetap naik kelas yah ?”.

Sambil mencari tempat kosong, Ayahnya memberi jawaban,

“Kamu juga boleh tidak sholat Jumat, tapi karena sakit. Allah mengijinkan kok, sebagai bentuk kemurahanNya. Apa lantas kamu memilih untuk sakit ?”
Anak itupun menggeleng dengan manja.

“Dan satu hal lagi, meskipun temanmu mendapatkan ijin untuk tidak berangkat ke sekolah, tapi tetap saja di rapotnya ada catatan bahwa dia tidak masuk selama 6 hari karena sakit. Begitu juga kita sebagai manusia, semua yang kita lakukan di dunia ini tentu akan dicatat oleh malaikat baik itu berupa amal baik maupun amal yang buruk”. Ucap sang Ayah menambahkan.

Sang anak pun mengangguk dengan antusias, lalu duduk bersebelahan dengan sang Ayah, bersiap untuk mendengarkan khotbah Jumat yang akan segera di mulai.

Begitulah gambaran sosok seorang Ayah. Setiap ucapan, perbuatan, bahkan diamnya, mengandung banyak makna dan pelajaran.

Terkadang, kita sebagai anak masih belum mampu untuk menerjemahkan setiap pesan tersirat yang disampaikan oleh Ayah. Seringkali, kita terlambat menyadarinya.

Sayangnya, setelah dewasa, atau saat kita sudah menjadi seorang Ayah, kasih sayang seorang Ayah baru kita sadari. Yang lebih menyesalkan lagi, jika rasa sayang itu baru kita mengerti setelah Ayah kita tiada.

Ayah memang berbeda dengan Ibu. Tangannya memang tak sehalus tangan ibu, peluknya pun tak sehangat pelukan ibu, serta kata-katanya pun tak semanis kata kata Ibu. Namun percayalah, kasih sayang seorang Ayah tak kurang dari kasih sayang seorang Ibu.

Dibalik sikap tegas dan kerasnya seorang Ayah, ia menyimpan berjuta cinta untuk anak-anaknya, bahkan ketika anaknya telah menjadi orang tua sepertinya.


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.