Dulu Namamu Rahasia#2
Dulu Namamu Rahasia#2
Muslim Fikri
Sebentar lagi episode bulan safar memasuki sesi injury time, bulan yang kurang begitu dihafal dalam tahun Hijriyah. Mungkin saja kalah tenar dengan bulan lain seperti Ramadhan dan Syawal. Malah ada yang beranggapan bulan Safar itu bulan sial, padahal semua bulan itu baik, mirip kisah di sebuah Madrasah. Tidak ada yang bodoh di Madrasah ini, hanya kita saja yang belum maksimal mengajar.
Andaipun saat Allah izinkan kita berada dibulan Safar mendapati sesuatu yang belum baik atau mendapati kegagalan, maka tak perlu sedih apalagi sampai merobek-robek baju, proporsional saja, anggap ini sebagai ajang kita melatih diri sebagai rute seorang manusia beriman yang ingin kembali ke hadapan Allah dengan bekal taqwa.
Bekal yang selalu disebut oleh para Khatib dalam khutbah Jumat. Kata Taqwa menjadi menarik saat kita menikmati dialog antar dua orang Sahabat Nabi yakni Umar Bin Khattab dengan Ubay Bin Ka’ab, memaknai Taqwa dengan ilustrasi kita berjalan di suatu tempat yang disitu banyak duri maupun jalannya licin maka kesimpulan dari dialog itu kita harus berjalan dengan cara hati-hati Itulah Taqwa.
Muhammad mengajarkan kepada kita tentang sikap terbaik saat menemukan episode kehidupan ini, tentang dua senjata orang beriman yakni bersyukur dan bersabar. Sekiranya ada kebaikan (atas ikhtiar kira) yang kita dapatkan di Bulan Safar semisal berdagang kemudian laku maka bersyukurlah, biar ditambah nikmatnya oleh Allah.
Jika dibulan Safar ini, ada ujian, peringatan, ataupun musibah dari Allah ta’ala baik karena ketentuan Allah maupun karena kelalaian diri kita maka bersabarlah, karena tak sehelai daun pun yang jatuh ke bumi, pasti atas izin Allah ta’ala. Yakin saja bahwa apapun bentuk kejadian itu, semuanya berpotensi menjadikan kita semakin dekat kepada Allah.
Sabar dan syukur ini menarik, mengkondisikan diri pada jalur proporsional, saat Bahagia kita bersyukur maka itu baik bagi pelakunya, atau sebaliknya saat sedih dia bersabar maka itupun baik bagi pelakunya. Jadi tak mengapa ada persoalan karena kita sudah punya jawaban.
Tak harus Bahagia terus, atau sedih saja, karena keduanya bagian dari ritme. Bayangkan jika sepakbola hanya menyerang tanpa bertahan kayaknya tak menarik, apalagi jika data statistic dalam penguasaan bola sampai 99% tim yang bertahan mungkin butuh kesabaran ekstra untuk menjaga gawangnya.
Sama halnya dengan siapa teman perjuangan kita, sudah berharap dia, bahkan sampai rela separuh lebih isi doa tentang dia, tapi fakta di lapangan yang hadir bukan dia, ya bersabarlah karena kata orang kadang cinta itu tak harus memiliki. Tak perlu ekstrem sampai berdoa Ya Allah jika dia terbaik untuk saya jodohkanlah, jika dia belum terbaik maka jangan jodohkan dengan orang lain.
Perjuangan ini memang butuh teman, minimal keimanan. Keren lagi jika seseorang yang ada di samping kita adalah pejuang, atau minimal paham tentang apa itu perjuangan. Biar Komiten, Konsistensi serta Konsekuensi dari perjuangan itu ada yang menjadi fungsi kontrol.
Lampu merah di perempatan itu menjadi fungsi kontrol, agar kita tidak gegabah itu menerjang jalanan karena di perempatan itu ada juga pengguna jalan lain yang semoga saja sama-sama tidak gegabah. Berbeda jika jalanan itu lurus sepi maka kita boleh saja gegabah dalam menginjak kecepatan. Mirip sahabat-sahabat kami di SiBulan (Siaga Ambulan) saat membawa pasaien dengan kasta darurat, maka kadang di “Sunnahkan” untuk gegabah meskipun juga tetap dalam kerangta taqwa tadi yakni berhati-hati.
Dan, teman perjuangan itu penting entah dengan siapa biarlah Allah yang kirimkan untuk kita, tugas kita hanyalah memantaskan diri dalam kebaikan dan ketaqwaan. Semoga Allah kirimkan teman perjuangan yang terbaik sebagai jodoh dunia akhirat dan semoga itu adalah dia..
Saat awal menikah, ada yang memberikan nasihat kepada saya bahwa membangun rumah tinggal itu mudah apalagi jika kita punya uang, selesai dalam hitungan jam beli rumah yang sudah jadi. Tapi membangun rumah tangga sampai kita meninggalkan dunia ini tak akan pernah selesai, Karena tak sekedar membangun tapi juga merawatnya.
Sesuai dengan nasihat Nabi Muhammad bahwa saat memilih pasangan terlintas banyak keinginan di benak kita dan semuanya itu boleh, seperti kita ingin pasangan dari segi fisik, berpendidikan, keturunan bangsawan dll, tapi kata Nabi kunci semua itu dengan agama agar semua itu menjadi baik dengan bimbingan agama.
Saya dulu pun tak paham siapa teman perjuangan itu, dan di penghujung Safar tahun ini ternyata sudah kisaran 12 tahun dia hadir, masih ingat setelah menikah tak ada banyak permintaan, cukup diajak ke Jogja untuk bertemu dengan singgah di beberapa tempat yang memang menjadi madrasah bagi saya selama 7 tahun sejak 2003 sampai selesai muktamar 1 abad Muhammadiyah di Jogja 2010.
Saya pun tak paham apakah menikah di kisaran bulan Safar itu tentang kebaikan, sudah nikmati saja sebagai sebuah jejak pengabdian, mirip program Lazismu Kebumen di Bulan Safar yakni Jejak Pengabdian. Jika pun ini tentang kebaikan ataupun sebaliknya (menurut manusia) semoga bisa menjadi bekal dalam puzzle-puzzle peradaban nantinya. Meskipun diri kita hanya menjadi kepingan saja dalam peradaban dan itupun kepingan yang paling akhir.
Terima Kasih untuk guru-guru saya saat dulu di Jogja, yang masih sehat semoga dimudahkan Allah dalam setiap amanahnya, yang sudah kondur (meninggal) semoga Allah ta’ala lapangkan kubur panjenengan, khusus untuk Ibu Kami yang juga meninggal tak jauh dari Bulan Safar, juga Ayah mertua kami yang sejatinya juga Ayah sendiri, semoga apa yang kami lakukan setiap saat jika ada yang dinilai kebaikan oleh Allah ta’ala semoga menjadi amal jariyah bagi panjenengan semua.. Aamiin.
Leave a Comment