Art Of Leadership

Art Of Leadership 

dr. H. Monte Selvanus, MMR || Ketua Bidang MPKU PDM Kebumen

Bagaimana jika seekor burung tak mau berkicau?

Oda Nobunaga menjawab, “Bunuh saja!”

Toyotomi Hideyosi menjawab, “Buat burung itu ingin berkicau.”

Tokugawa Ieyasu menjawab, “Tunggu sampai dia berkicau sendiri.”

Gemetar Hideyosi mendengar perintah Oda Nobunaga, ia harus menyelesaikan pembangunan tembok benteng dalam waktu satu pekan. Jika ia tidak berhasil, maka Oda Nabunaga sendirilah yang akan memancung lehernya.


"Yang Mulia Nobunaga, saya telah menyiapkan 1.000 orang anak buah saya untuk membantu Hideyosi," kata salah seorang perwira kepada Oda Nobunaga.

"Dan saya akan mengirimkan 2.000 orang untuk membantu Hideyosi," sahut perwira yang lain. 

Hideyosi bukannya tidak tahu konspirasi yang sering dilakukan perwira-perwira saingannya untuk menyingkirkan dirinya. Tetapi apa apa daya, ia sendiri tidak memiliki banyak waktu dan anak buah. Akhirnya ia pun menerima anak buah saingannya untuk membantunya. 

Karena separuh lebih adalah anak buah perwira saingannya, maka pekerjaan itu terasa sangat lambat dan hampir tidak ada kemajuan apa pun. Saingan Hideyosi sudah memberi peringatan kepada anak buahnya untuk menggagalkan pekerjaan itu. Selama 3 hari Hideyosi memacu para pekerjanya, dan ia akan mencambuk siapa saja yang membangkang untuk bekerja.

Namun akibatnya bukannya pekerjaan mereka yang segera terselesaikan, yang terjadi justru penurunan kemampuan kerja dan berkurangnya produktivitas. Pekerjaan semakin terbengkalai dan hampir tidak tersentuh.

Pada hari keempat, Hideyosi berdiri pada sebuah batu yang tinggi dan mengumpulkan semua pekerjanya. Mereka diberi makan yang enak, kemudian diberi pakaian dan perhiasan dalam jumlah yang banyak. 

Para pekerja saling bertanya-tanya, apa maksudnya. Mereka bahkan hampir tidak mengerjakan tembok itu, namun Hideyosi malah menjamu dan memberi mereka pakaian bagus serta perhiasan.

Tiba-tiba Hideyosi berkata, “Kawan-kawan coba lihat di lereng sebelah sana. Padi sudah mulai menguning, apakah sekarang hampir musim panen?”

Tidak ada yang menjawab pertanyaan Hideyosi, masing-masing masih berkutat dengan pikirannya sendiri-sendiri.

Hideyosi meneruskan, “Aku ingin tahu adakah dari kalian yang tinggal di lereng itu? Aku percaya ada di antara kalian yang tinggal di sana. Mungkin saat ini istri kalian, anak-anak kalian sedang bergembira menyambut datangnya musim panen ini. Dan bagaimana dengan orang-orang tua kalian yang sedang menunggu keluarnya susu dari ternak kalian? Pasti sekarang mereka semua sedang bergembira menyambut musim ini.”

Para pekerja yang tadinya ribut, segera terdiam mendengar pembicaraan Hideyosi. Memang saat ini sedang musim panen.

Hideyosi meneruskan, “Lihatlah, di sana, sungai kita yang tidak pernah kering mengaliri tanah dan halaman kita. Lalu sumur-sumur yang kita gunakan untuk keperluan sehari-hari di tengah lapangan itu. Kita tidak pernah kekurangan makanan, tidak pernah kelaparan. Bukankah ini tanah air kalian?”

Hideyosi menangis, kemudian berkata lagi, “Kawan-kawan aku bukan menangisi kegagalanku membangun benteng ini, yang berarti aku harus dipenggal oleh Tuanku Nobunaga. Aku tidak menangisi keluarga yang bakal aku tinggalkan jika pekerjaanku gagal. Tapi aku menangisi negeri ini. Apakah kalian tahu, jika kita tidak segera membangun benteng ini, musuh akan dengan leluasa memasuki negeri kalian. Mengambil kebahagiaan kalian, menculik anak gadis dan istri kalian. Membunuh orang-orang yang kalian sayangi, merampas padi yang hendak kalian panen, membunuh ternak kalian untuk dijadikan santapan mereka. Sumur-sumur kalian akan segera kering dan sungai yang melintasi negeri ini akan berwarna merah oleh karena banyaknya darah yang tertumpah. Kalian yang sekarang tidak pernah kelaparan akan menghadapi masa-masa kelaparan dan kematian di mana-mana, pakaian kalian yang bagus itu akan segera menjadi compang-camping. Aku mungkin tidak akan menyaksikan itu semua, karena aku mungkin sudah mati dipenggal. Tetapi kalian akan menyaksikan kejatuhan demi kejatuhan, kalian akan merasakan kesengsaraan demi kesengsaraan, sedangkan kalian sendiri bukanlah prajurit yang mampu berkelahi dan membunuh.”

Para pekerja semakin terdiam mendengar ucapan Hideyosi, beberapa di antaranya ikut menangis. Tidak lama kemudian, seluruh pekerja larut dalam suasana itu, ikut menangis.

Hideyosi berkata, “Kawan-kawanku, pakaian dan perhiasan yang aku berikan kepada kalian anggap saja sebagai hadiah dariku. Mungkin kita tidak akan pernah bertemu lagi setelah ini, 4 hari lagi batas waktuku habis, dan aku akan dipenggal. Percayalah aku tidak membenci kalian. Aku memperlakukan kalian secara kasar selama 3 hari ini, karena kecintaanku pada kalian. Aku tidak ingin melihat anak-anak kalian menjadi yatim, atau istri kalian menjadi janda.”

Tiba-tiba ada seorang pekerja berseru, “Tuan Hideyosi maafkan kami! Kami bersumpah akan menyelesaikan benteng ini dalam waktu 4 hari bersama Anda.”

Pekerja yang lain segera berdiri dan mengiyakan seruan temannya. “Ya, benar kami pasti akan meyelesaikan untuk Anda.”

Suasana menjadi hiruk pikuk. Hideyosi tersenyum lalu berteriak lantang, “Bagus kawan-kawan, lantas apa lagi yang kita tunggu!”

Semua pekerja bekerja dengan giat selama 4 hari tanpa istirahat seperti dikejar sesosok hantu yang mengerikan. 

Maka tembok yang mengelilingi kota itu pun jadi. Hideyosi pun telah menunjukkan caranya memimpin dan mengarahkan seseorang untuk bekerja dengan giat tanpa paksaan melainkan karena dorongan batin mereka sendiri.

Setiap muslim adalah seorang pemimpin sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah saw. 


كُلُّكُمْ رَاعٍ فَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، فَالأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ، وَالمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ، وَالعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ، أَلاَ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ


“Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Amir (kepala Negara), dia adalah pemimpin manusia secara umum, dan dia akan diminta pertanggungjawaban atas mereka. Seorang suami dalam keluarga adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka. Seorang istri adalah pemimpin di dalam rumah tangga suaminya dan terhadap anak-anaknya, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka. Seorang hamba sahaya adalah pemimpin dalam urusan harta tuannya, dia akan dimintai pertanggungjawaban atasnya. Ketahuilah, bahwa setiap kalian adalah pemimipin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas siapa yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari no. 2554 dan Muslim no. 1829).


Yang menjadi persoalan adalah bagaimana cara kita memimpin yang meminimalkan konflik dan bisa bersama-sama meraih tujuan yaitu menuju kejayaan sebagaimana seruan dalam adzan. 


Dari kisah di atas setidaknya ada beberapa dasar dalam seni menjadi pemimpin:


1. Memberikan teladan yang baik kepada yang dipimpin. Apabila kita menghendaki anak-anak kita tidak merokok, tentunya kita juga memberikan contoh dengan tidak merokok. Demikian juga apabila kita menghendaki anak-anak kita menjadi hafidz Quran, tentunya kita pun harus berusaha menjadi hafidz Quran.


2. Senantiasa mengingatkan dan menyadarkan kepada yang dipimpin, tentang kebaikan dan risiko apabila mereka enggan melakukan kebaikan. Bahkan Imam Syafii pun mengingatkan dengan keras anak-anak yang enggan melakukan kebaikan (menuntut ilmu): "Anakku, jika kamu tidak tahan terhadap penatnya belajar, maka bersiaplah kamu akan menanggung bahayanya kebodohan."


3. Selalu siap berkorban dan siap menjadi yang terdepan pada saat menghadapi sebuah persoalan. Lihatlah bagaimana Rasulullah berperang di garis depan pada saat perang Uhud, hingga beliau jatuh dari kudanya dan menerima tikaman dari lawan. Lihatlah juga pada saat menggali parit Khondaq, beliau memimpin langsung para sahabat terjun ke dalam parit menggali bebatuan.


4. Memahami situasi, kondisi dan potensi yang dipimpin. Seorang pemimpin wajib memahami situasi, kondisi dan potensi orang yang dipimpin. Rasulullah tidak menempatkan Hasan bin Tsabit ra di barisan tempur kaum Muslimin. Potensi Hasan bukanlah berperang, ia adalah seorang penyair yang mampu membangkitkan semangat juang para sahabat dengan syairnya. Rasulullah juga memahami potensi kamuflase yang dimiliki Hudzaifah bin al Yaman, maka beliau pun menempatkan Hudzaifah sebagai mata-mata pada saat perang Khondaq berlangsung. 


5. Memiliki pengetahuan yang luas, sebagaimana Allah memilih Tholut menjadi pemimpin kaum Yahudi pada saat bertempur melawan Jalut. Padahal Tholut bukanlah kaum bangsawan dan aghniya, namun Allah memilihnya menjadi pemimpin, karena keluasan ilmunya dan fisiknya yang yang tangguh (basthotan fil 'ilmi wal jism).


Umat sangat bergantung kepada siapa yang memimpin, maka memahami kepemimpinan sangat penting dalam agama Islam. Seribu kambing jika dipimpin seekor harimau akan mengaum semua, dan sebaliknya seribu harimau jika dipimpin seekor kambing akan mengembek semua.


Wallahu a'lam bish showab

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.