_Navi Agustina, PDA Kebumen_
______
Tak sengaja Membaca Tulisan Faudzil Adzim dengan judul Anak Anak Yang Mati Rasa.
Anak anak yang Mati rasa, dikhawatirkan beliau terjadi di generasi sekarang. Di mana anak anak tidak memiliki empati pada sesama termasuk orangtua.
Apakah kita berperan ikut menjerumuskan anak menjadi anak anak yang tidak memiliki empati karena memanjakan mereka? Semoga tidak.
Seperti dikutip oleh Penulis, beliau mengutip Hadits Nabi yang driwayatkan oleh Umar Bin Khatab. Berikut kutipannya:
Lelaki itu berkata lagi, "Beritahukan kepadaku kapan terjadinya Kiamat."
Nabi SAW menjawab, "Yang ditanya tidaklah lebih tahu daripada yang bertanya."
Dia pun bertanya lagi, "Beritahukan kepadaku tentang tanda-tandanya!"
Nabi menjawab, "Jika budak wanita telah melahirkan tuannya, jika engkau melihat orang yang bertelanjang kaki, tanpa memakai baju (miskin papa) serta penggembala kambing telah saling berlomba dalam mendirikan bangunan megah yang menjulang tinggi." (HR Muslim)
Budak melahirkan Tuannya, yang dimaksudkan beberapa ulama adalah ungkapan, yang bermakna bahwa anak-anak akan menjadi durhaka kepada orangtuanya, terlebih kepada ibunya. Ibarat ibu yang menjadi budak, dan anak menjadi tuan yang memperbudak ibunya sendiri. Tanda-tanda kiamat dihiasi dengan semakin hilangnya rasa hormat kepada orang tua.
*Hilangnya Empati*
Hal ini dimulai dari bagaimana sikap anak anak kepada orangtua.
Ketika orangtua sibuk di dapur, tergerakkah anak anak kita untuk membantu tanpa disuruh? Sesekali cobalah menguji mereka.
Ustad Faudzil menyarankan agar salah satu meningkatkan empati adalah dengan mengajari anak anak pekerjaan rumah tangga. Meski kita punya pembantu, tetap ajari anak anak untuk membersihkan dan merapikan tempat tidur, meyapu, mengepel, menyiram tanaman dll.
Seperti dicontohkan Ustadz Faudzil bahwa di Inggris, para Bangsawan menyekolahkan anak mereka di Eton College. Kenapa?
Eton College itu semacam Muallimin atau Gontor atau Pesantren. Di sana anaknya raja maupun anak orang sangat kaya bersekolah, para siswa diharuskan mencuci dan menyeterika bajunya sendiri. Bukan bayar laundry. Bukan karena orangtua mereka fakir miskin. Bukan. Tetapi karena dalam urusan sederhana itu ada kebaikan yang sangat besar bagi kehidupan mereka di masa yang akan datang, termasuk dalam hal kepemimpinan. Mereka menjadi lebih peka tentang apa yang seharusnya dilakukan saat menjadi pemimpin perusahaan, termasuk dalam mengelola waktu.
*Beres Beres*
Dalam sebuah penelitan di Amerika, ditemukan hal menarik, bahwa anak-anak yang rajin beres beres akan menjadi anak yang sukses.
Penulis 'How to Raise an Adult' tersebut mendasarkan risetnya pada Harvard Grant Study yang dilakukan sebelumnya. Dalam Penelitian itu disimpulkan bahwa orang-orang yang sering melakukan pekerjaan rumah tangga atau beres-beres rumah ketika kecil tumbuh menjadi orang dewasa yang lebih sukses. Ternyata mereka juga menjadi atasan yang lebih baik di tempat kerja.
Dikatakan bahwa anak-anak yang dibesarkan untuk membantu merapikan rumah jadi lebih tahu bagaimana berkolaborasi dengan rekan-rekan kerja. Mereka juga lebih baik dalam membaca perasaan orang lain karena sering mengalami kesulitan sejak kecil.
Belajar dari Nabi Muhammad saw
Lihatlah bagaimana Nabi kita mendidik putrinya Fatimah. Fatimah tetap hidup sederhana, tetap melakukan pekerjaan rumah tangga dengan menggiling gandum, dan Ali tetap bekerja mengangkut air. Ketika Fatimah dan Ali meminta Nabi untuk memberinya pembantu, Nabi tidak meluluskan permintaannya. Dengan Lembut Nabi menyampaikan, “Maukah kalian berdua aku tunjukkan kepada sesuatu yang lebih baik dari seorang pembantu?Jika kalian hendak tidur, ucapkanlah takbir 33 kali, tasbih 33 kali, dan tahmid 33 kali. Hal itu lebih baik dari seorang pembantu.”
Sejak saat itu Ali dan Fatimah pun tak pernah meninggalkan doa tersebut setiap akan beranjak tidur.
Wallahu a’lam bishawab
Kultum 9 Februari 2021
Sumber penulisan:
- Republika
- Risalah M. Faudzil Adzim
- www.detik.com
Leave a Comment